KEBAHAGIAAN hati umat Islam menyambut Ramadan adalah bukti hadirnya wujud iman bagi setiap muslim. Kebahagiaan hati itu terlahir dari pohon iman pada kedalaman setiap umat Islam.
Kebahagiaan hati lah yang melahirkan kuncup yang akan terus menjadi kembang dan menjelma dalam kelopak indah Ramadhan.
Bulan Ramadhan adalah penghulu dari segala bulan, yang penuh keberkahan, rahmat dan ampunan. Allāh pilih Ramadhan sebagai bulan yang penuh dengan keutamaan, bulan yang sangat istimewa Puasa (shaum/shiyam) artinya adalah menahan diri.
Dalam konteks wabah Covid-19 ini, Ramadhan merupakan salah satu instrumen religius untuk melatih penahanan diri dari berbagai bentuk seperti isolasi diri dan physical distancing untuk menahan dan membendung tersebarnya virus Corona.
BACA JUGA : Ramadan dan Produktifitas di Tengah Wabah
Tujuan utama shaum adalah status muttaqin. Salah satu ciri manusia takwa lebih peduli pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi mashlahat bukan madharat.
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berasal dari hadits Nabi yang berbunyi: laa dharara wa laa dhirar, yang dalam kasus korona sekarang ini, bisa diartikan sebagai berikut; Tidak boleh membiarkan adanya virus korona yang mematikan manusia menular kepada orang lain, karena bisa jadi kita sedang terpapar virus tersebut.
Kita semua berkewajiban untuk ikut berperan dalam memutus rantai pandemi global ini dengan bersama sama saling tolong menolong melakukan sesuatu (Qs. Al-Maidah: 2). Bentuk tolong menolong yang efektif adalah seperti tinggal di rumah, maka beribadah di rumah menjadi pilihan dan keharusan bagi semua umat beragama.
Kebijakan pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar sudah sesuai dengan kontekstualisasi teks-teks keagamaan, mulai ayat al-Quran, sunnah Nabi Saw. hingga pada qawaa’id dan ushul fiqhiyyah.
Inilah bentuk tanggungjawab manusia sebagai khalifah di bumi (Qs. al-Ahzab: 72, Qs. Al-Baqarah: 30). Mari, sebagai warga bangsa dan umat beragama kita wajib mengikuti, mengamankan dan mensosialisasikan kebijakan pemerintah (Qs. Al-Nisa: 59).
Perlu diingat, kualitas ibadah seseorang tidak hanya ditentukan oleh tempat di mana ia beribadah, tetapi juga dan terutama ditentukan oleh kualitas ketulusan (Qs. al-Bayyinah: 5), kualitas kekhusyuan (Qs. al-Mukminun: 1-2), kualitas kesucian jiwa (Qs. al-Syams: 9-10), juga kualitas pemaknaannya terhadap ibadahnya.
Kondisi Pandemi
Dalam kondisi pandemi global ini, beribadah di masjid atau tempat ibadah secara masal resikonya terlalu tinggi.
Di zaman ulama Ibnu Hajar al-Asqolani pada tanggal 27 Rabî’ul Akhir tahun 833 H di Kairo, juga terjadi hal yang sama. Pada tanggal 4 Jumâdal Ûlâ masyarakat diperintahkan keluar ke lapangan, sebelumnya dianjurkan puasa 3 hari, lalu shalat dan berdoa.
Korban jiwa sebelum acara tersebut kurang dari 40 orang. Namun setelahnya menjadi lebih dari 1.000 nyawa melayang. Mesir yang sebelumnya ada 20 juta penduduk, saat itu tersisa sekitar 2,5 juta jiwa.
Hal tersebut yang mendorong beliau menyalin kitab Badzlul Mâ’ûn Fî Fadhlith Thâ’ûn setelah mengumpulkan banyak sekali hadis dan kalam para ulama pada tahun 819 H. Beliau dua kali menolak keluar bersama Malik/Raja Muayyad dalam kegiatan tersebut.
Ibnu Hajar melakukan karantina mandiri dan tidak menghadiri kegiatan yang disponsori Raja Muayyad Billah di Kairo saat itu. Pemikiran dan tindakan beliau sangat maju, relevan saat ini.
Poinnya adalah baik ibadah bersama atau pribadi, seharusnya kita taruh dalam kapasitas yang sama. Wabah ini memberikan hikmah kepada kita bahwa keikhlasan tidak diukur dari semangat keberagamaan yang tinggi untuk beribadah di masjid atau kekhusyuan beribadah di tengah kesepian.
Semuanya akan sirna jika kita beribadah untuk ditunjukkan kepada manusia. Sebab, Ikhlas adalah urusan hati yang kita tujukan sepenuhnya kepada Allah ta’ala. (*)
Penulis : Dr. H. Mudzakir, M.Ag adalah Rektor IAIN Kudus